Sabtu, 10 Juli 2010

Tujuh Kupu-kupu berwarna Ungu


“Kakek, bisa ceritakan aku tentang patah hati?”

“Mengapa?”

“Karena aku belum tau rasanya patah hati. Sementara banyak dari mereka yang mengakui sudah pernah patah hati.”

“Itu karena kamu belum dewasa, mungkin kelak bila sudah dewasa kamu akan memahaminya.”

“Tapi terlalu lama bila aku harus menunggu sampai dewasa, bisa kakek ceritakan sekarang?”

“Baiklah, Kakek akan menceritakan seorang pria yang sedang patah hati.”

“Siapa nama pria itu kek?”


“Audy”

“Lantas siapa yang membuat hatinya patah.”

“Seorang gadis yang amat dicintai tentunya.”

**

Audy kecil selalu terpikat dengan kupu-kupu yang memiliki sayap keunguan. Dimatanya kupu-kupu dengan sayap berwarna ungu memiliki keindahan tersendiri bagi kedua bola matanya yang bulat. Setiap pulang sekolah tak pelak ia selalu menyempatkan diri untuk pergi ke sebuah taman kecil di belakang sekolah. Mencari kupu-kupu bersayap keunguan. Mengamatinya beterbangan mengelilingi bunga-bunga. Dan ketika mereka terbang mengepakkan sayapnya nan keunguan itu lantas audy terperanjat dengan riang seraya berkata Kupu-kupu cantik bawa aku terbang dari sini.

Ketika beranjak dewasa Audy menemukan kupu-kupu itu kembali di sekolahnya. Kupu-kupu itu masih sama dengan seperti yang dulu. Masih cantik. Menawan. Elok. Dan memiliki warna keunguan yang mampu membuat kedua bola matanya mengembang saat dilihat terbang melintas di hadapannya. Kupu-kupu itu kini berwujud sesosok gadis peranakan tionghoa. Namanya Nik-nok. Terdengar aneh mungkin di daun telinga. Tapi percayalah kalau kecantikan gadis itu hampir menyamai kupu-kupu bersayap ungu yang dahulu kerap dijumpainya di taman mungil dekat belakang halaman sekolah.

Bila kupu-kupu yang kerap ia jumpai di taman memiliki keindahan sayap berwarna keunguan layaknya bunga lembayung, maka Nik-nok memiliki keindahan kardigan yang sewarna semburat cahaya senja nan keunguan. Setiap hari Audy mengamati gerak-gerik Nik-nok di sekolah. Di dalam kelas, Audy mengamati wajah Nik-nok dari ujung meja paling belakang sembari senyam-senyum sendiri mirip orang imbisil. di dalam perpustakaan Audy mencoba mengintip wajah Nik-nok dari balik kamus oxford atau buku seri ensiklopedia. Ia sengaja memilih kedua buku itu karena ukurannya yang besar dan lebar yang dirasa cukup untuk menyembunyikan wajah dungunya. Pun di dalam kantin Audy selalu sengaja memesan Mie ayam mang dayat karena ia tahu kalau Nik-nok suka memesan mie ayam buatan mang dayat dan makan bersama kedua teman-temannya. Biasanya setelah memesan ia masih saja sengaja memilih kursi yang letaknya agak jauh dari Nik-nok (Kadang di belakang). sembari menyeruput Mie Ayam, Audy (lagi-lagi) hanya bisa senyam-senyum sendiri menatap punggung Nik-nok yang terbalut kardigan ungu. Jauh di dalam hatinya Ingin rasanya ia berbisik lembut di daun telinga Nik-nok, Kupu-kupu cantik bawa aku terbang dari sini

Tujuh hari lagi menuju valentine. Audy terkesiap. Ia sadar kalau tanggal 14 pada bulan Februari di sekolah akan menjadi hari ungkapan kasih sayang bagi setiap kaum pria kepada wanita yang disukai. Entah apakah wanita itu teman sekelas, lain kelas, adik kelas, atau kakak kelas. yang pasti pengungkapan rasa kasih sayang di hari valentine akan meninggalkan makna yang mendalam bagi romantika hubungan percintaan di kalangan para murid. Ditambah sebuah mitos di kalangan sekolah yang meyakini bahwa setiap Pria yang mengungkapkan perasaannya pada wanita yang disukainya tepat pada hari valentine tiba maka niscaya wanita itu akan menjadi cinta sejatinya kelak. Pak Sitok menjadi buktinya. 12 tahun lalu saat ia menjadi siswa di sekolah ini pernah mengungkapkan isi hatinya dengan cara membaca sajak cinta menye-menye karangannya sendiri saat jam istirahat di kelas dimana wanita itu berada. Wanita itu bernama Dian Ningsih. Dan Kini keduanya telah memiliki dua orang anak lelaki kembar siam yang lucu-lucu, keduanya duduk di bangku TK di sekolah ini jua. Kini keduanya sama-sama mendedikasikan hidupnya untuk mengajar di sekolah ini. Hanya saja Bu Dian Ningsih mengajar Bahasa Indonesia, sementara pak Sitok mengajar Sejarah.

Namun Audy masih setengah hati untuk meyakini kebenaran mitos ini. Karena ia ingat betul nasib sahabatnya bernama Deni. Pria itu, cintanya pernah di tolak tepat di hari valentine oleh gadis berparas manis yang senyumnya serupa untaian kalung permata. Semenjak itu Audy kerap melihat Deni menceracau sendirian di dalam kelas sembari menangis sesegukan. Kadang ia mendapati Deni membaca sajak khalil gibran—yang kesemuanya bertemakan patah hati—dengan lantang di perpustakaan. Di toilet. Bahkan di pelataran parkir motor. Barangkali ia sudah gila. Batin Audy. Tentu Audy tidak ingin berakhir seperti nasib sahabatnya itu.

Di hari valentine, Audy berencana untuk mengungkapkan isi hatinya kepada gadis peranakan tionghoa tersebut. Namun ia tidak akan membeli cokelat atau kartu valentine saat pengungkapan nanti di sekolah. Ia tidak ingin melakukan hal-hal klise seperti para pria kebanyakan lakukan. Maka yang dilakukannya adalah setiap sore menyempatkan diri untuk pergi ke taman mungil yang berada di belakang sekolahnya dahulu saat ia menjejak SD. Disitu ia mencoba menangkap aneka kupu-kupu bersayap keunguan dengan jaring. setiap hari ia mendapati satu kupu-kupu dengan sayap yang tersaput warna ungu. Ia mengumpulkan total sebanyak tujuh buah kupu-kupu yang kesemuanya di awetkan dan di taruh satu persatu dalam satu barisan untuk kemudian di letakkan dalam bingkai kaca.

Hari valentine berkumandang. Audy sudah siap dengan bingkai kaca yang berisikan 7 buah kupu-kupu bersayap keunguan. Saat jam istirahat tiba. Audy menghampiri Nik-nok. Ia memberikan bingkai kaca itu kepadanya. Gadis itu tersenyum kecil. Matanya yang sipit kian menyipit hingga tampak hanya menyerupai sebuah garis.

“Ini, kupersembahkan hanya untuk kamu.”

“Terimakasih, kenapa Kamu memberi aku hadiah aneh seperti ini sih?”

“Karena kamu secantik kupu-kupu ini.”

“Kalau tahu begitu seharusnya aku juga membawa celengan babi kepunyaanku dari rumah.”

“Untuk apa?”

“Ya, untuk kuberikan kepadamu?”

“Kenapa?”

“Karena Kamu selucu celengan babi kepunyaanku.”

Audy tersenyum kecil. Ia senang saat Nik-nok mengatakan bahwa dirinya lucu, walau ia sedikit bingung untuk membedakan apakah dirinya yang selucu babi, atau babi itu sendiri yang selucu dirinya.

“Apakah kamu mau menjadi pacarku?”

“Aku menjadi pacarmu?”

“Maukah kamu?”

“Kurasa kamu Bukan tipeku Audy.”

“Lantas seperti apa tipemu?”

“Mungkin yang tidak pendek dan gemuk seperti dirimu.”

“Loh, bukannya Kamu tadi bilang aku selucu babi?”

“Iya, tapi bukan berarti aku ingin pacaran dengan babi kan?”

Audy terdiam. hatinya jatuh ke lantai. Berdebam. Pecah. berserakan. Belum tuntas ia mengambil kepingan hatinya yang tercecer. Nik-nok mengucapkan sepatah kata.

“Anyway, terimakasih ya atas bingkainya..mungkin akan ku pajang di kamarku.” Ucapnya seraya pergi meninggalkan Audy yang masih saja memungut satu persatu kepingan hatinya yang hancur.

Audy sedih. Ia berlari dengan linglung layaknya babi yang sehabis ditendang. Ia masuk ke dalam kelas guna mengambil tasnya lalu beranjak pulang. Di dalam kelas ia mendapati Deni yang masih menceracau sambil menangis sesegukan. Apakah aku akan menjadi seperti dia? Tanyanya lirih dalam hati.

Audy di dalam kamar. sedang memandangi dirinya dari cermin yang cukup besar untuk memantulkan citra tubuhnya secara keseluruhan. Dalam benaknya ia berkata Tuhan apakah benar aku mirip babi? Audy percaya bahwa segala sesuatu yang diciptakan Tuhan itu baik adanya. Jadi bila benar ia disamakan dengan babi seharusnya tak menjadikan dirinya kecil hati. Toh babi juga makhluk ciptaan Tuhan bukan? pikirnya. Audy tersenyum. Ia beringsut tidur. Di dalam lelapnya ia masih saja memimpikan tujuh buah kupu-kupu bersayap ungu. Namun jumlahnya tidak lagi tujuh melainkan delapan. Satu diantaranya berparas Nik-nok.

“Sudah malam Nila, Kamu tidur saja ya..esok malam Kakek lanjutkan ceritanya.”

“Lantas apa yang terjadi dengan Audy?”

“Lihat sudah jam setengah sepuluh malam, Kamu sebaiknya tidur Nila, besokkan kamu sekolah.”

“Bisakah Audy mendapati cinta Nik-kok?”

“Sudah malam Nila..”

“Aku belum mengantuk..ku mohon ceritakan aku hingga akhir cerita.”

“Baiklah, tapi ingat sehabis cerita ini kamu sudah harus tidur ya?”

“Baik.”

Dan sang kakekpun melanjutkan ceritanya.

***

Audy sadar kalau dirinya kini harus menjaga hatinya agar tidak rompal kemudian pecah. Karena ia sudah bersusah payah merekatkan setiap keping demi keping patahan hatinya selama enam bulan menggunakan power glue. Ia juga sudah mulai melupakan Nik-nok. Walau kadang ia masih sering memimpikan tujuh kupu-kupu bersayap ungu tersebut setiap malamnya. Bukan, bukan tujuh, melainkan delapan. satu diantaranya berparas Nik-nok, pun kadang ia masih sering terlihat mematut dirinya berlama-lama di depan cermin seraya berkata jauh di dalam hati Tuhan, apakah benar aku mirip babi?

Sepuluh tahun berlalu. Sepuluh tahun merupakan waktu yang cukup untuk merubah keadaan bukan? Namun ternyata ada dua hal di dunia ini yang tidak akan pernah berubah selama sepuluh tahun. Pertama, cinta Audy terhadap Nik-nok belum meluntur sama sekali. Kedua, tubuh Audy masih saja gemuk dan pendek tak ubah layaknya seperti babi. Mungkin ini yang dinamakan abadi. Sebuah rasa yang tidak akan pernah hilang dimakan oleh waktu. Namun dalam waktu sepuluh tahun rupayanya nasib telah menjadikan Audy sebagai Top manager sebuah perusahaan milik BUMN ternama. Ia memiliki daya analisa yang tinggi sehingga mampu menaikkan profit seluruh kantor-kantor cabang di pulau jawa, Bali, dan Sumatera mencapai 10% setiap tahunnya . hal ini pula yang menjadikan Anggia bakrie sang sekretaris pribadi menaruh hati terhadap sang bos. Namun keadaan semakin rumit ketika samuel sang supir pribadi Audy turut menaruh hati terhadap Anggia.

Audy meminta samuel untuk mengantar Anggia ke sebuah biro tour and travel yang berada di selatan Jakarta guna mengambil tiket pesanannya ke Tokyo untuk menghadiri seminar yang bertajuk how to succeed suppy chain management proccess in the industry manufacture yang tengah diadakan oleh kantor pusat yang berlokasi di Jepang. Perusahaan meminta Audy untuk mengikuti seminar tersebut guna mempelajarinya untuk kemudian mengimplementasikan di perusahaan tempat ia bekerja.

“Kamu nanti malam ada acara?” Tanya Samuel kepada Anggia di dalam mobil.

“Memang kenapa?”

“Kita jalan yuk.”

“Jalan, Kemana? aku sibuk.”

“Sibuk? Sibuk apalagi? Sibuk ngelayanin bos kamu itu ya?”

“Kayanya kamu gak perlu tahu aku sibuk dengan apa deh. Tugas kamu hanya menyupir tok.”

“Kecil ya barangnya?”

“Hah?”

“Maksud kamu.”

“Tentu kamu sudah pernah main kan sama bos, gimana barangnya? Kecil ya?” tanya samuel seraya terkekeh.”

“Kurang ajar kamu!” Hardik Anggia sembari melempar tas Louis vuitton miliknya ke muka Samuel. Mobil pun oleng ke kanan. Lalu kemudian berdecit hingga berhenti. Anggia memutuskan untuk keluar dari Mobil. Berjalan menuju pedestrian dan memanggil taksi. Ia berlari dengan langkah kecil pertanda jijik dengan tingkah laku sang supir.

“Bilang saja kalau kecil. Punyaku lebih panjang dan lebar!! Kita coba nanti malam ya! Kamu pasti puas!!” Teriak Samuel dari balik jendela Mobil. Anggia memutar balik badannya lantas mengacungkan jari tengah ke arah Samuel. Samuel hanya terkikik geli memerlihatkan giginya yang kekuningan. Sekuning kaus kaki miliknya yang tak kunjung diganti selama lima tahun.

Di dalam taksi. Benak Anggia bertanya-tanya Kecilkah?

Di Tokyo. Di sebuah Hotel bintang lima. Audy membuka Jendela bening besar. berdiri di sebuah balkon kamarnya.tubuhnya telanjang bulat. Dirasakannya angin malam Tokyo yang menampar-nampar kedua pipi tembamnya. Ia melihat ke bawah. Tampak penis mungilnya berayun-ayun di hembuskan angin. Batinnya bertanya Kecilkah?

Di Tokyo. Di dalam Hotel, saat malam merenda, Audy tertidur. masih memimpikan tujuh buah kupu-kupu bersayap ungu. Bukan. Bukan tujuh. Melainkan delapan. satu diantaranya berparas Nik-nok.

Di Jakarta. Anggia sang sekretaris masih saja menunggu kepulangan sang bos dengan hati yang membuncah. Ia tak sabar mengenakan Kardigan ungu yang pernah diberikan oleh Audy di hari Ulang tahunnya yang ke 27.

Di Bekasi. DI rumah kontrakan. Samuel masih memendam hasrat untuk mengajak Anggia sekadar menonton film bersama, atau dinner di sebuah kafe di ujung sudut kota. Sungguh hatinya terpaut dengan Anggia. Ia masih tersenyum setiap kali mengingat Anggia. Dan senyumannya itu selalu memamerkan barisan giginya yang kekuningan. Sekuning kaus kakinya yang tak kunjung di ganti selama 5 tahun.

***

Kakek itu melihat cucu kesayangannya ternyata sudah tertidur dengan lelap. Ia menatap wajah cantik nan mungil itu. Mengecup pelan kedua pipinya. Selamat tidur. Bisiknya lembut.

Kakek itu berjalan ke luar rumah. Hari sudah begitu malam. Jam tangan tua di pergelangan kirinya menunjukkan pukul sebelas malam. Tentu bukan jam yang baik untuk para manula berjalan keluar di tengah malam di antara hembusan angin dingin yang menusuk tulang. Namun hatinya terpanggil untuk menjenguk sebuah taman mungil yang dahulu kerap ia datangi saat masih mewujud bocah. Sebuah taman dimana dirinya begitu antusias untuk menyaksikan pertunjukan kupu-kupu saling-silang beterbangan dan mendarat untuk menghisap sari bunga. Ia menyukai kupu-kupu itu. namun yang paling disukainya adalah kupu-kupu bersayap ungu. Karena kupu-kupu bersayap ungu selalu mengingatkannya akan seseorang yang amat dicintainya. Ah, kemanakah dia? Masihkah dia mengingat kejadian kurang lebih empat puluh lima tahun yang lalu? Saat dirinya memberikan bingkai kaca berisikan ketujuh buah kupu-kupu yang kesemuanya bersayap ungu layaknya semburat cahaya senja yang mulai lindap ditelan malam. Ia tidak tahu. Ia hanya berharap semoga perempuan itu tidak akan pernah melupakannya.

Jauh di suatu tempat. Tampak seorang Nenek yang sedang berdiri. Menatap bingkai kaca. Di dalamnya masih terdapat tujuh buah kupu-kupu bersayap ungu. Ia tersenyum kecil. Pikirannya melambung ke peristiwa empat puluh lima tahun yang lalu.

Terimakasih Untuk Allan Audy Wardhana, Monik "Nik-nok", Samuel Tse, Anggia atas nama dan karakter kalian. GBU


Pernah dimuat di KOMPAS.COM untuk kolom OASE edisi sabtu 3-juli-2010.

Jumat, 09 Juli 2010

Gadis dengan Kardigan Ungu


Mataku terpana pada seorang gadis yang tengah berdiri di halte seberang. Jaraknya mungkin terpaut 8 meter dari tempat aku kini berdiri. Namun kecantikan parasnya terasa dekat sekali hingga aku bisa menangkap gambar lesung pipit tersungging di pipinya yang merona kemerahan. Ah. Siapakah gadis dengan kardigan ungu tersebut? ingin rasanya aku mengurungkan niat pulang ke rumah demi melihat sosoknya lebih dekat. Lebih intim. Lebih nyata. lebih..dan lebih...

Mungkin baru saja ia pulang dari kuliah. Ini bisa dilihat dari beberapa buku yang ia dekap dengan hati-hati. Mungkin ia sedang menunggu angkutan bus umum karena sedari tadi kedua bola matanya terpancang ke sisi kanan jalan. Atau mungkin ia sedang menunggu kekasihnya, karena sesekali aku melihat ia mengambil smart-phone dari tasnya dan melihat bibir pipih nan mungil itu bergerak-gerak seperti sedang berbicara dengan seseorang. Mungkin kekasihnya sedang meneleponnya, Mencari lokasi dimana ia menunggu. Mungkin kekasihnya beberapa menit lagi akan menjemputnya dengan sebuah motor-matic, atau mungkin kekasihnya beberapa menit lagi akan menjemputnya dengan mobil-sport. Mungkin...dan..mungkin...dan mungkin...dan mungkin...saja semua yang aku pikirkan salah, ternyata ia masih single. Dan yang baru saja menelepon tak lain adalah mamanya yang menanyakan mengenai keberadaan dirinya sekarang. Hati-hati di jalan ya, kalau bisa kamu langsung pulang saja, jangan pergi dugem melulu. Mungkin itu yang akan dikatakan seorang mama terhadap putri satu-satunya nan cantik jelita.

Aku bisa melihat kalau gadis itu sepertinya jatuh cinta dengan warna ungu. Tampak dari kardigan berwarna ungu yang ia kenakan, Casing smart-phone berwarna ungu yang baru saja ia keluarkan, Tas yang berada di pangkuannya juga tak pelak berwarna ungu, dan terakhir mengacu pada sebuah gelang berwarna ungu transparan pada pergelangan tangan kanan mungilnya. Andaikan wajah dan tubuhku berwarna ungu layaknya barney mungkin ia sudah meloncat kegirangan dari seberang sana. Lalu kemudian berlari memelukku dan menciumi kedua pipiku. Serta merta membawaku pulang ke rumahnya untuk dijadikan hiasan.

O, tampaknya hujan sudah mulai menurunkan bulir-bulir beningnya. Sial!! Aku tidak membawa payung. Aku harus mencari tempat untuk berteduh! Tunggu dulu, di halte seberang. Ya, di halte seberang aku akan berteduh bersama gadis dengan kardigan ungu nan cantik-jelita itu, namun aku harus melewati jembatan penyeberangan terlebih dahulu agar sampai ke tempatnya.

Aku menghela langkah kaki dengan cepat. Berusaha menerabas butiran hujan yang melamurkan pandangan. Tas punggung ku gunakan sebagai tameng untuk melindungi kepala dari tempias air hujan yang kian deras menghunjam. Aku tiba di halte. Memandangi dirinya. ia mengulum senyum untukku.

Air mengembun di kedua bingkai kacamataku. Sementara tas yang aku gunakan untuk menutup tubuhku dari hujan terlihat basah kuyup. Aku melepas kacamata. Melihat sebuah tangan terulur dengan dua lembar tissue diatasnya. Ia masih mengulum senyum untukku seraya berkata

“Kamu basah.”

Ku ambil dua lembar tissue dari tangannya yang tampak putih seperti tembaga, seraya memberikan senyuman terbaikku.

“Terimakasih”

Kurasa aku jatuh cinta

***

Hari ini aku tidak melihat gadis dengan kardigan ungu tampak di halte seberang. Padahal aku sudah menunggunya sedari tadi. Hati ini berharap kalau ia akan Berdiri di halte itu sama seperti hari-hari sebelumnya. Berharap pula hujan akan merinai dengan deras sama seperti hari-hari sebelumnya. Berharap jua aku akan berlari ke halte seberang dengan kondisi basah kuyup, lalu ia akan memberikan dua lembar tissue seraya berkata kamu basah, Namun aku tidak melihat sosoknya berdiri di halte seberang. Adakah ia telah pergi menaiki bus sesaat yang lalu namun aku tidak melihatnya? Adakah ia tidak masuk kuliah hari ini karena sakit barangkali? Atau adakah ia rupanya seorang malaikat dari negeri ungu yang menyamar rupa menjadi manusia lalu terbang kembali ke tempat asalnya dan mungkin tidak akan lagi turun ke bawah guna berteduh sejenak di halte tersebut?

Senja melamur ditelan sang waktu. Langit semakin gelap. Pun gadis dengan kardigan ungu masih tak tampak di halte. aku memutuskan untuk membeli sebotol air mineral dari salah satu pedagang asongan yang kerap berjualan di sepanjang pedestrian kota Jakarta. mereguknya. Merasakan air tersebut mengalir. Membasahi kerongkongan. Menghapus dahaga. Diriku Seperti menemukan telaga di tengah sahara. Lalu dengan perasaan muram aku memutuskan untuk pulang. Mungkin gadis itu hanya imijanasiku belaka. Tapi bagaimana mungkin. Entahlah.

***

Hujan kembali menitikkan air beningnya. Aku bisa merasakan hawa dingin memelukku erat dari belakang. Merasakan hembusan hangatnya di balik tengkuk. Keredap awan yang melahirkan cahaya keputihan terlihat di kaki langit. Tempias air hujan bergemerutuk di atas kepalaku. Mataku terbuka. Mendapati diriku tengah berdiri di sebuah halte yang tampak familiar. Tiba-tiba sebuah tangan terjulur kearahku. dengan dua lembar tissue di atasnya. sebuah tangan yang tampak putih menyerupai tembaga, dan lembut seperti kapas. Sebuah tangan yang aku kenali. Sebuah tangan yang aku rindukan. Aku mendongak ke atas. Menemukan wajahnya yang cair seperti mentega. memberikan sepotong senyum kepadaku.

“Kamu basah.”

Aku mengambil dua lembar tissue secara perlahan dari telapak tangan mungilnya.

“Terimakasih.”

Kini aku melihat gadis itu tidak hanya mengenakan kardigan berwarna ungu. Namun tampak kedua sayap dengan bulu-bulu halus berwarna ungu tersemat di balik punggungnya. Kedua bola matanya menyerupai lembayung ungu yang menghanyutkan. Secercah sinaran menyinari tubuh rampingnya. Membuat ia terlihat bercahaya. Berpendar-pendar layaknya bintang mungil yang sering aku lihat dari halaman belakang rumah. dan cahayanya itulah yang menerangi halte ini secara keseluruhan. Hawa dingin yang tadinya menjalar di sekitarku kini terasa begitu hangat. padahal hujan masih menumpahkan butiran beningnya, dan angin masih menghembuskan napasnya dengan gigil yang menusuk. Namun di dekat dirinya aku merasa hangat. hangat sekali. Sehangat hembusan napasnya yang kini terasa dekat di hadapanku. Bibir kami bersentuhan. Bibirnya mengecup lembut bibirku. Saling melumat. Lidah kami saling bertautan. Meninggalkan rasa manis layaknya setangkai lolipop. Lalu ia memberikan senyum untukku. mengenggam erat tanganku, seperti ingin mengajakku pergi entah kemana. mungkin mengajakku bercinta, atau mungkin mengajakku menari di bawah rinai air hujan. entahlah.

Kurasa aku jatuh cinta

Seuntai nada dering mengalun dari telepon genggamku. menggelitik daun telinga , seperti membujuk untuk segera di baca. Aku pun bangun dari lelap tidurku. Mengambil telepon genggam tersebut dan membaca pesan pada menu inbox dengan mata yang masih sayu. Yank kita jadi makan malam kan nanti? Begitu aku baca isi pesan tersebut. aku berharap kalau gadis dengan kardigan ungu yang mengirimkan pesan ini kepadaku. Namun sia-sia ku berharap, karena aku tahu bukan dia.

Malam ini terasa romantis. Rembulan beringsut keluar dan memberikan semburat cahaya kuning keemasan yang memesona. Bintang-bintang pun mulai berhamburan dan saling mengeluarkan bujuk rayu untuk mendapati hati sang rembulan. Berdansalah denganku manis. Tutur sang bintang kepada rembulan. Sangat romantis. Seromantis kekasihku yang tengah menatap mesra di depanku. Jari-jemarinya menyentuh jemariku. Senyumannya mengarah kepadaku. Aku membalas senyumannya. Kami saling duduk berhadapan, di sebuah meja mungil berwarna kelabu. piano berdenting lembut, mengeluarkan untaian nada yang terbang. Meliuk-liuk di udara. Meniti langit-langit kafe hingga jatuh satu persatu ke daun telingaku dan kekasihku.

Malam yang romantis. Namun bayang-bayang gadis dengan kardigan ungu selalu berkelebat di hadapanku. Aku lelah untuk terus memikirkannya. Lelah karena terus merindukannya.

Kurasa aku jatuh cinta

“Kamu tahu yank, kalau malam ini kamu terlihat cantik sekali.”

“Gombal kamu.”

“Sungguh.”

“Masa?”

“Habis kamu cantik sih.”

“Kalau tidak cantik.”

“Ya, aku tetap sayang donk..

“Gombal.”

“Jadi kita mesan apa malam ini?”

“kamu?”

“Advocado chocolate.”

“Aku juga sama kayak kamu.”

Kekasihku pun mulai memanggil seorang pramusaji, namun tampaknya tak berhasil karena suaranya ditelan oleh riuh-rendah denting suara piano yang telah bercampur dengan deretan kata-kata genit yang keluar berhamburan dari setiap bibir pasangan di kafe ini. Namun akhirnya ia berhasil menarik perhatian seorang pramusaji. Memanggilnya dengan ayunan tangan agar dapat dilihat tempat duduk kami yang mungkin agak sedikit jauh dari sang pramusaji. akhirnya sang pramusaji mendekat ke meja kami. Seorang wanita tepatnya. Kehadirannya tidak aku acuhkan saat ia membacakan sekaligus menawarkan berbagai menu yang dihidangkan oleh kafe ini, aku tengah asyik ber-browsing ria bersama handphone mungilku.

Waktu mendadak jadi beku. Membisu. Semuanya berjalan sangat lambat. Sangat pelan. Hingga kemudian berhenti. Denting garpu dan sendok sontak tak terdengar lagi. riuh-rendah suara pengunjung kafe mendadak menguar. tercekat. seperti barisan kata-kata yang hanya mengambang di udara. Tak bergerak. Aku bisa merasakan hembusan napasku yang lunak perlahan berhenti sesaat ketika Kedua bola mata ini menangkap sosok gadis dengan kardigan ungu tersebut tengah duduk dengan anggunnya di sebuah meja yang tidak terlalu jauh dari mataku memandang. Jari jemari mungilnya tampak sedang memegang satu batang rokok mild. Sementara bibir pipih mungil merona kemerahan itu sibuk mengepulkan asap. Sesekali membentuk huruf O. Pesonanya telah menghentikan pusaran waktu semesta. Dari yang tadinya bergerak menjadi berhenti. Yang mencair menjadi membeku. Yang pikuk menjadi senyap. Ingin rasanya diri ini terbang perlahan menghampiri pesonanya. Duduk perlahan di sampingnya. Meniup lembut poni rambutnya hingga tersirap keningnya yang putih bercahaya lalu ku taruh sebuah kecupan mungil diatasnya. Kurasa aku jatuh cinta.

satu menit yang lalu kekasihku baru saja pergi ke toilet. aku mau pipis dulu yank katanya tadi, dan momen seperti ini tentu saja tidak akan kubiarkan lewat begitu saja. Kini aku seperti mendapatkan kesempatan untuk melempar sebuah dadu dalam permainan judi. Demi dewi fortuna aku akan mengambil kesempatan ini. Aku beringsut pergi menghela langkah kaki. Mengatur degup jantungku agar seirama. Berusaha menyembunyikan lekuk wajahku yang terlihat gugup. Menyeka bulir keringat yang sedikit membasahi kening dan tengkuk. Wajahnya yang menyiratkan pesona memaksaku untuk menghela langkah kaki lebih cepat. Ingin segera hati ini menyambangi kelopak keindahan yang kini terlihat menari-nari di depan bola mataku.

belum genap sedepa aku menghampirinya, namun gadis itu sudah beranjak pergi meninggalkan mejanya. Bibir pipih merah nan memesona itu tengah terlihat mengepulkan asap untuk terakhir kalinya. Ia bergegas pergi. Menghela langkah kakinya dengan cepat namun tetap menyuguhkan sebuah keanggunan. ia berjalan pelan menuju pintu keluar kafe bagian selatan. Aku mengikutinya hingga ia keluar dari kafe. Namun sayang tak lama kemudian aku kehilangan jejak mungilnya. Mataku hanya dapat menatap nanar kosong sebuah jalan raya dengan satu-dua mobil yang lalu-lalang. Gadis dengan kardigan ungu tersebut tampak lenyap ditelan oleh waktu. Ku mendongak ke atas. Menatap cakrawala. Tampak semburat cahaya keunguan berkeretap di baliknya. Adakah gadis dengan kardigan ungu tersebut pergi menuju cakrawala?

Aku memutuskan untuk kembali ke mejaku. Tampak kekasihku tengah menyeruput minumannya dengan kedua bola mata yang dilayangkan ke berbagai arah. Kurasa ia mencariku. O kekasihku yang manis. Kekasihku yang romantis. Kekasihku yang acap kali tampil modis dengan rambut klimis. tahukah engkau kalau aku tidak pernah menyukai laki-laki berpenis? Aku selalu jatuh cinta dengan wanita. wanita sepertiku. Wanita seperti mantanmu. Wanita seperti ibuku. Wanita dengan sejuta pesona yang terpancar dari rambut hitam legamnya. Wanita dengan bibir merah delima. Wanita yang memiliki payudara yang menyembul dengan sempurna seperti rembulan. Wanita dengan kerling genit bola mata yang mampu menghanyutkan semesta. Wanita yang memesona dengan wajah secair mentega dan kulit seputih tembaga. wanita seperti gadis yang kujumpa di halte. Gadis dengan kardigan ungu.

Kurasa aku jatuh cinta.

1. Dimuat di www.kompas.com pada kolom OASE edisi Selasa, 25-mei-2010


2. Dimuat di www.sepocikopi.com pada kolom CERPEN untuk edisi Senin, 21-june-2010

Negeri Pelangi, Peri hujan, dan Mama


Malam semakin larut. Langit diluar kian berkabung. Aku termangu menatap jendela kamar kecilku, Menanti seseorang yang sangat kucintai untuk segera pulang. Rinai air hujan perlahan jatuh titik demi titik membasahi kaca jendela. Suara tempias air yang mengenai kaca jendela terdengar bagai sebuah simfoni yang lembut bagiku—suaranya bertalu-talu. Aku dapat mendengar peri hujan berbisik memanggil pelan namaku, mengajakku untuk segera keluar untuk menari bersamanya. Berdansa bersamanya. Merinai lagu cinta berdua bersamanya. Bercinta bersamanya. Hanya aku dan peri hujanku di negeri nan jauh di atas—Negeri pelangi.

Aku mendengar pintu kamarku berderit—dibuka oleh orang yang sudah lama kutunggu sedari tadi. Mamaku, ia terlihat begitu lelah sehabis pulang kerja dari kantor, namun kecantikannya masih tetap berpendar dengan hangat di wajahnya. Aku mengagumi kecantikan Mamaku, matanya yang indah, bibir tipis mungilnya, kaki jenjangnya, dan—hal yang amat ku kagumi dari dirinya—tentu rambut hitam legam yang kerap menari-nari bila ia sedang berjalan.

“Halo Nila anak mama sayang.” sapanya seraya memelukku dengan erat.

“Gimana, kamu sudah makan?”

“Sudah ma, tadi Nenek yang memberiku makan”

“Gimana sayang masakan Nenek, enak gak?”

“Enak ma, walau..emmm... masih lebih enak buatan Mama sih..” tukasku

Mama membalas dengan senyuman dan memberikan kecupan mungil di keningku.

“Mama mandi dulu ya sayang, nanti mama bacain cerita sebelum kamu tidur. mau Mama bacain cerita yang mana?”

“Negeri Pelangi!!” jawabku dengan semangat sembari menunjuk buku yang terbaring di meja dengan kondisi masih tersegel dengan rapi.

“Oh, buku yang hari sabtu lalu mama beli untukmu ya? Hemmm... mama lupa membacakannya untukmu ya ternyata.” Gumam mama seraya mengambil dan mengamati buku tersebut dengan membolak-balik cover depan dan belakangnya.

“Iya, mama sih pulangnya malem terus, jadi kelupaan deh sama buku negeri pelanginya.” keluhku

“Ya sudah, Mama mandi dulu ya. Mmmmuaachhh...” Mama mencium pipiku yang merona merah.

Aku melihatnya menanggalkan pakaian satu persatu sebelum masuk ke kamar mandi. Mamaku, seperti yang kukatakan tadi, betapa cantiknya ia. Aku selalu hanyut terpesona dengan kecantikannya. Kata Nenek, aku mewarisi kecantikan mata dan bibir Mamaku. Aku sangat gembira ketika Nenek mengatakan hal itu. Aku selalu membayangkan bagaimana bila kelak aku sudah tumbuh dewasa nanti. Memiliki mata indah seperti Mama, memiliki senyum dari bibir tipis yang memesona seperti mama, memiliki rambut hitam legam yang kerap menari-nari bagai balerina seperti milik mama. Diriku juga tidak sabar untuk segera memiliki payudara yang ranum, tidak sabar untuk segera memiliki pinggul yang ramping, tidak sabar untuk segera memoleskan lipstik pada kedua garis bibir indahku. Tahukah kamu kalau dulu aku kerap berlama-lama berdiri di depan cermin—yang berada di kamar Mama—mengenakan lipstiknya, mengenakan gaunnya, memakai sepatu high-heels kepunyaannya? Aku sering memastikan apakah sudah terlihat cantik seperti Mama atau belum. kadang aku terkikik bila mengingatnya kembali karena bagaimanapun juga saat itu usiaku baru saja menginjak 7 tahun.

Usai mandi dan berpakaian, Mama dengan cekatan mengambil buku cerita Negeri Pelangi. ia mulai membuka halaman demi halaman, menceritakan bagaimana konon cerita ini sudah santer terdengar dan telah menjadi buah bibir dari kalangan masyarakat semenjak ribuan tahun lalu.
Konon bila hujan tiba, masyarakat di perdesaan banshee selalu menyambutnya dengan penuh suka cita. Para petani memberi sambutan peri hujan dengan menari-nari di areal pematangan sawah. Bersuka-ria kalau tahun ini sawah mereka akan terhindar dari musim kemarau yang selalu menyebabkan gagal panen karena kering-kerontang, Para ibu-ibu petani memberi sambutan dengan menyanyikan lagu-lagu kebahagian untuk diperdengarkan oleh para peri hujan, dan para pria jejaka diliputi rasa bahagia bercampur was-was untuk menanti siapa kali ini yang akan terpilih oleh peri hujan untuk ikut menuju negeri pelangi dan dijadikan mempelai pria.

“Terus apakah ada pria yang terpilih oleh peri hujan pada akhirnya?” tanyaku dengan penasaran.

“Tentu ada Nila sayang, Konon setiap tahun akan ada satu pria jejaka yang terpilih dibawa ke negeri pelangi untuk dijadikan mempelai pria.” Jawab Mama dengan menyunggingkan senyum kecil.

“Terus apa yang dilakukan pria itu bila sudah berada di negeri pelangi?”

“Pria itu akan dinikahkan oleh salah satu peri hujan yang tentunya sangat cantik. mereka akan menjadi sepasang suami-istri di negeri pelangi hingga selama-lamanya.”

“Selama-lamanya, sampai mereka menjadi tua terus mati ya ma?” tanyaku penasaran.

“Tidak Nila sayang, di negeri pelangi kita tidak akan menjadi tua lalu kemudian meninggal seperti kebanyakan orang pada umumnya, malah kita akan hidup muda sampai selama-lamanya. “

“wah enaknya.....” tukasku dengan senyum yang mengembang “Terus seperti apakah rupa dari peri hujan itu ma?” tanyaku tertarik.

“Peri hujan itu sangat cantik, mereka memiliki rambut berwarna kuning keemasan, kedua sayap yang mengilat, dan memiliki warna bola mata berwarna kebiruan seperti laut.”

Aku tidak pernah menaruh imaji seorang malaikat pada benakku sebagai gambaran yang menurutku tepat untuk mewakili sosok peri hujan, namun aku menaruh imaji Mama yang menjadi peri hujan. Aku selalu membayangkan mama-lah yang memiliki sayap putih mengilat yang tersemat di punggung indahnya. Terbang bersama diriku yang secantik dirinya. Bersama kami mengulum manisnya sinar pelangi, mencecap sepotong senja yang tampak dari atas, dan bermain bersama gumpalan awan-awan yang beriak tenang.

Namun kini 11 tahun kemudian mimpi-mimpi itu telah hilang menguap dibawa semilir angin. Mama kini terbaring lemah di rumah sakit. Sel-sel kanker payudara telah menghisap habis keelokan yang dulu pernah dimilikinya. Kini ia terlihat begitu lemah. Tua. Ringkih. Kurus. Payah. sudah 6 bulan lamanya aku menemani Mama di rumah sakit, dan kondisinya kian buruk dari bulan ke bulan. Nenek sudah meninggal 5 tahun lalu. Aku sedih melihat bagaimana satu-persatu orang yang kukagumi dan kucintai pergi meninggalkanku begitu saja. Namun dibalik kepedihan ternyata tersisip secuil kebahagiaan bagi tiap-tiap orang yang memiliki mimpi. perkataan Nenek ternyata benar bahwa aku kelak akan tumbuh dewasa secantik Mamaku. Di usiaku yang kini menginjak 18 tahun aku bisa melihat sosok Mama pada diriku, Mama mewarisi keindahan bola matanya padaku, ia juga mewarisi bibir manisnya untukku, pinggulku tidak lagi kecil tapi kini berubah menjadi begitu ramping seperti mama, kakiku perlahan namun pasti sudah memperlihatkan kejenjangannya seperti mama, dan tentu payudaraku kini sudah mulai tumbuh menjadi padat-berisi.

Pemberian yang mama wariskan kepadaku tidaklah sia-sia, karena dengan kemolekan yang kini kumiliki, aku dapat dengan mudah mendapatkan pekerjaan sebagai Sales Promotion Girl di salah satu perusahaan automotif ternama milik Jepang yang cukup sering melakukan pameran di mall-mall besar di Jakarta. Dengan pekerjaan ini aku dapat menabung untuk biaya kuliah serta membantu biaya chemotheraphy yang sedang mama jalankan.

Namun Tuhan berkehendak lain. Tuhan? Oh please...aku tidak percaya dengan adanya Tuhan, dimanakah Tuhan ketika Papa meninggalkan Mama dalam kondisi mengandung diriku 3 bulan? Dimanakah Tuhan saat aku memohon agar Nenek tidak pergi meninggalkan aku seorang diri, dan kini dimanakah Tuhan saat sel-sel ganas kanker itu berhasil merenggut nyawa mama. Tidakkah Ia melihatku setiap pagi selalu berdoa untuk Mama di rumah sakit ini? Tidakkah ia mengetahui kalau setiap malam aku selalu bersimpuh menangis sendirian di kamar memohon kemurahan hatiNya agar Mama bisa tetap hidup bersama aku?

Sepeninggal Mama, hari-hariku layaknya ditelungkup kegelapan yang amat pekat, sementara aku terlihat kepayahan meraba-raba jalan keluar untuk mencoba lari dari rasa kehilangan ini. Aku kerap menangis sendirian di kamar kosanku, dengan sesegukan biasanya aku membuka buku Negeri pelangi dan mendekapnya erat-erat untuk mengobati rasa rinduku terhadap Mama, tak jarang aku membacanya berulang-ulang sebagai pengantar tidur bila malam menjelang.

22 tahun sudah kini usiaku, dan sudah hampir genap 4 tahun semenjak Mama pergi meninggalkanku. Teman-teman kampusku mengkhawatirkan kondisiku yang semakin tertutup dan tidak pernah mau bersosialisasi. Banyak pula cowok-cowok yang datang menyambangi kosanku guna menghiburku. Walau pada akhirnya nanti mereka pasti akan mengajakku nonton, mengajakku makan di kafe, atau bahkan membelikanku boneka-boneka dan baju-baju dengan alasan agar aku tidak lagi bersedih. Aku tahu kalau sebenarnya mereka tidak peduli secuilpun pada kesedihan yang kualami, yang mereka pedulikan adalah bagaimana memegang tanganku saat kita dinner bareng di kafe, bagaimana mengenggam tanganku saat kita berjalan nonton, atau bagaimana meraih pinggulku saat kita jalan berdua bersama, dan bagaimana cara memagut bibirku merahku dengan birahi di dalam mobil mereka.

Ha..ha..ha..ha..ha.. kadang aku tertawa keras bila mengingat semua perlakukan manis mereka terhadapku. Ah..betapa jahatnya aku dengan tega membiarkan mereka terus membelikanku boneka, baju, sepatu, pulsa, kalung bahkan mengajakku jalan untuk makan malam setiap hari. Ternyata benar apa yang dikatakan oleh Nenek dulu, bila aku sudah dewasa nanti aku tidak perlu berusaha mencari laki-laki, karena laki-lakilah yang akan berusaha keras mendapatiku. Aku menggambarkan diriku seperti setangkai bunga cantik yang tinggal di hamparan padang hijau luas dimana banyak kupu-kupu, lebah, dan kepik yang jatuh cinta dengan kelopak indah bungaku, setiap hari satu persatu dari mereka kerap menyambangiku demi merasakan manisnya sariku. namun sayang sesungguhnya aku tidak pernah tertarik dengan lelaki. Tidak, tidak pernah dan tak akan pernah. Karena aku hanya jatuh cinta dengan Negeri pelangi, peri hujan, dan Mama.

***

Aku mendapati diriku sedang berdiri mematung di halaman gereja. Kepalaku menengadah keatas. Aku melihat hujan tumpah ruah dengan derasnya membasahi setiap sudut gereja mungil ini, aku mendengar suara jemaat lamat-lamat semakin keras saat mereka ramai-ramai keluar berhamburan dari gereja. Aku dapat melihat alis mereka yang saling bertaut sebagai pertanda rasa kecewa dan bingung berbaur menjadi satu karena hujan telah datang menyambut mereka pada pagi yang indah ini.

“Hey, anak gadis kecil siapa ini?” kata seorang pria paruh baya yang bertanya kepadaku ditengah kumpulan orang banyak.

“Nila, kamu tidak pulang sayang?” timpal seorang wanita yang tampaknya seperti guru sekolah mingguku

“Aku menunggu mama” ucapku.

“Tapi mamamu belum datang sayang, mari sama tante aja, tante anter kamu ke rumah, ayo.” Tukasnya sembari berusaha memegang tanganku. Namun aku berusaha keras untuk tidak membiarkan tanganku berhasil didapat olehnya.

“Aku mau pulang sama Mama!!!” gerutuku dengan keras.

“Tapi dimana Mamamu?”

“Aku tidak tahu!!, tapi aku hanya mau diantar pulang sama Mama!, nanti pasti dia dateng jemput Nila!” jawabku dengan emosi.

Secara perlahan aku melihat seluruh jemaat gereja sudah berkurang satu demi satu untuk pergi meninggalkan gereja. Sebagian dari mereka ada yang naik mobil, ada yang naik motor, dan ada yang jalan kaki dengan payungnya masing-masing. Tinggal aku sendiri disini, Teronggok dengan rasa sepi dan dingin yang menusuk kulit. Suara gemeretuk hujan di atap gereja seakan sedang berbicara denganku, memberitahu bahwa mama sebentar lagi akan datang menjemputku. Aku hanya diam tercenung di pelataran halaman gereja, membayangkan mama berjalan mendekatiku, mengajakku pulang dan memayungiku.

“Nila, hey Nila mama disini!!”

“mama?”

Aku melihat mama dengan Payung mungilnya sedang berdiri tidak jauh dariku, ia melangkah mendekatiku dengan hati-hati guna menghindari genangan air, setelah sampai di depanku ia dengan cepat memelukku dan mencium kedua pipiku.

“ Lama ya sayang menunggu Mama?”

“Iya, hikss..”ucapku dengan sedikit menangis sesegukan

“Ayo kita pulang,” ajak mama seraya meraih tangan mungilku.

“Ayo” jawabku dengan meraih tangan mama.

Kita berjalan bersama menyusuri sepanjang jalan yang sedikit tergenang dengan air, aku dapat melihat bulir-bulir air hujan jatuh mengelilingi kami membentuk irama-irama yang menghanyutkan, membuatku terbuai kantuk karenanya, aku dapat merasakan mataku yang tiba-tiba menjadi berat, tangan hangat mama meraih badanku dan mulai menggendong di punggungnya. Aku dapat merasakan kalau aku seperti melayang secara perlahan ke atas, pemandangan jalan terlihat semakin kecil dan menjauh aku tingalkan. Aku melihat kalau di belakang punggung mama tersemat sebuah sayap bening mengilat berkilauan. Rupanya sayap itu yang membuat kita berdua melayang terbang ke atas.

“Kita mau kemana ma?” tanyaku

“Kita ke Negeri Pelangi” jawab mama seraya memberikan senyuman manisnya kepadaku.

“kamu mau?” tanyanya

“Negeri Pelangi?, tentu saja aku mau ma” jawabku kegirangan.

Dan kita pun terbang menembus semburat cahaya sore yang telah menggantikan rinai hujan. aku dapat melihat lekuk punggung pelangi terbaring di ufuk barat, dibalik punggung pelangi itu terbentang sebuah negeri, Tempat dimana aku akan menghabiskan waktu bersama Mama dan para peri hujan hingga ujung masa—negeri pelangi.

Semburat cahaya mentari sore membangunkanku. Aku bangun dan mendapati diriku berada di kamar kosanku. Pastilah aku telah bermimpi sedari tadi batinku. Aku bangkit bergegas menuju kamar mandi untuk mencuci muka, lalu mengambil segelas air mineral untuk ku reguk demi menghilangkan rasa haus yang kerap menyerang kerongkonganku saat jatuh tidur.

Aku bersijengkat menuju bingkai jendela berwarna cokelat. membukanya secara perlahan, Merasakan tiupan angin hangat memelukku erat. Tanganku menengadah ke atas merasakan sisa air hujan titik demi titik yang sepertinya sudah mulai berhenti. Mataku tertumbuk kepada sosok pelangi yang beringsut keluar dari persembunyiannya. Aku melihat siluet sayap-sayap bening terbang keluar berbarengan membentuk formasi huruf V dari balik bukit pelangi itu. Aku melambaikan tangan kepada sayap-sayap itu. Aku melihat salah satu pemilik sayap itu membalasnya dengan mengerlingkan mata kepadaku. Mata yang cantik. Indah. Hangat. Lembut. Mengingatkanku akan mata Mama.


Dimuat di KOMPAS.com untuk kolom OASE edisi rabu 12-mei-2010