Sabtu, 05 Februari 2011

Sang Perempuan dengan Seekor Kelinci


Setiap malam Ia selalu bermimpi kalau dirinya adalah seekor kelinci putih yang lucu, yang mampu melompat kesana-kemari di sebuah halaman pekarangan nan luas, dan memiliki seorang majikan perempuan nan baik hati yang selalu setia merawat dan menjaganya. Setiap malam pula ia selalu memanjatkan doa kepada yang maha kuasa agar keesokan paginya ia sudah memiliki telinga yang panjang, bulu putih yang halus menyerupai bola kapas, hidung mungil kemerahan, dan sorot mata yang memancarkan kanak-kanak.

Namun tempat ia berpijak bukanlah di sebuah halaman pekarangan nan luas, melainkan berkubang di lumpur kotor berwarna pekat kehitaman yang kerap menguarkan aroma busuk. Ia juga bukan seekor kelinci putih yang manis dengan kedua telinga yang panjang, hidung mungil kemerahan, dan sorot mata yang kekanak-kanakan. Ia hanya seekor katak buruk rupa yang setiap malamnya hanya bernyanyi dengan nada sumbang di dalam kubangan lumpur demi membunuh rasa sepi yang dipeluknya tiap malam.

Setiap sore saat senja menyepuhkan warna kemerahan di kaki langit, sang katak tidak pernah lupa untuk keluar dari kubangan lumpur guna melihat wajah seorang perempuan dengan seekor kelinci dari balik luar pagar pekarangan.

Sang katak gemar memerhatikan dengan saksama segala tindak-tanduk sang perempuan dengan seekor kelincinya itu. Kedua bola mata bulatnya tak pernah luput memerhatikan setiap detail bagian demi bagian dimana saat sang perempuan menggendong, membelai, bercakap-cakap,dan saling bermain kejar-kejaran dengan sang kelinci. Ketika dirasa sudah cukup puas memerhatikan sang perempuan dengan seekor kelincinya, Sang katak memutuskan untuk segera kembali ke kubangan lumpur tempatnya bernaung. ia tidak ingin berlama-lama guna terhindar dari serangan ular-ular yang gemar memangsa kaumnya. Terlebih bila malam sudah hampir menjelang seperti ini.

Sang Katak buruk rupa tidak tahu siapa nama sang perempuan dengan seekor kelincinya itu, namun disatu senja pernah saat ia tengah memerhatikan sang perempuan sedang asyik bercakap-cakap dengan kelincinya itu dari balik luar pagar pekarangan, ia mendengar suara seorang perempuan lain dari dalam rumah yang memanggil nama Perempuan itu dengan nada cukup keras. Nama itu kini terdengar begitu abadi bagi telinga sang katak, nama itu terdengar bertalu-talu di dalam pikirannya setiap hari, bahkan nama itu kini selalu ia senandungkan dengan nada sumbang di dalam kubangan lumpur tiap malam.

Setiap sore sang katak selalu menunggu kedatangan sang perempuan dari balik pagar pekarangan. Di halaman pekarangan itu sudah menunggu sang kelinci berwarna putih yang terlihat sedang asyik melompat-lompat menjelajahi setiap sudut halaman pekarangan, mengendus-endus rerumputan yang kehijauan, sesekali sang kelinci terlihat masuk ke kandang guna mengunyah wortel dengan kedua giginya yang mungil sebelum kembali melompat-lompat.

Sang katak selalu mengartikan kalau setiap lompatan yang dilakukan oleh sang kelinci bisa jadi merupakan sebuah bentuk ekspresi kebahagiaan sang kelinci ketika menunggu sang majikan. Lama sang katak bersolilokui dari balik luar pagar halaman, sampai pada akhirnya pintu berwarna keputihan itu mengeluarkan suara deritan pertanda dibuka dari arah dalam. Seketika semua lamunan sang katak menjadi luluh lantak, Ia melihat bagaimana sang perempuan dengan gelombang rambut kehitaman yang menyala tengah menghela langkah kaki agak sedikit terburu-buru pertanda tak sabar untuk segera memeluk binatang kesayangannya. Sementara sang kelinci tidak ketinggalan melompat-lompat dengan lincah mendekati perempuan itu dan berakhir dengan jatuh dipelukan sang majikan. Kedua bola mata sang katak untuk kesekian kalinya tak jemu-jemu memandang pemandangan sang perempuan dengan seekor kelincinya hingga puluhan kali, ratusan kali, bahkan ribuan kali. Dan ketika senja sudah mulai terlihat redup, dengan sigap ia kembali ke kubangan lumpur tempatnya bernaung.

Senyum sang perempuan selalu terbayang-bayang di tempurung kepala sang katak, Pikirannya ibarat sebuah film yang terus menerus memutar kejadian saat-saat dimana senyum sang perempuan itu tengah merekah ketika sedang menggendong sang kelinci, Pikirannya juga terus menerus memutar adegan dimana sang perempuan tengah mengelus-elus dengan lembut helai demi helai bulu sang kelinci.

Pernah suatu malam sang katak bermimpi kalau mendadak ia menjadi sang kelinci mungil berbulu putih yang melompat-lompat di halaman pekarangan rumah. Ia tengah menantikan kepulangan sang majikan, pintu berwarna keputihan itu terbuka dan sang perempuan beringsut memeluk dan menggendongnya dengan lembut. Ia dapat merasakan bagaimana jemari lentik sang perempuan itu membelai setiap helai bulu putih halusnya, ia juga dapat merasakan bagaimana telunjuk sang perempuan mengelus-ngelus hidungnya yang kemerahan dengan canda tawa. Sesaat kedua matanya menangkap gambar seekor katak yang sedang mengintip dari balik luar pagar pekarangan, sekejap kemudian raganya sontak berpindah dari kelinci yang sedang berada di pangkuan sang perempuan melesak masuk ke dalam raga Katak buruk rupa yang tengah berada di balik luar pagar pekarangan. Dan mimpi itu adalah mimpi terburuk yang pernah dialami sang katak malam itu.

Di satu malam yang hening. Sang katak sedang menimbang-nimbang sebuah rencana kalau di satu senja ia akan masuk ke dalam halaman pekarangan tanpa sepengatahuan sang kelinci. Ia ingin sesekali menampakkan dirinya kepada sang perempuan, Ia tidak ingin terus-menerus hanya diam teronggok dari balik luar pagar pekarangan sementara kedua matanya tak henti-henti menatap keindahan sang perempuan

.

Setelah lama berpikir. Setelah lama menimbang-nimbang. Akhirnya Sang katak sampai kepada keputusan bahwa ia akan menampakkan dirinya kepada sang perempuan di halaman pekarangan esok sore. Ia ingin merasakan bagaimana dirinya dapat dipeluk, digendong, dan dibelai oleh sang perempuan, sang katak merasakan bahwa dirinya juga layak dijadikan binatang peliharaan kesayangan kedua oleh sang perempuan, toh ia juga bisa melompat-lompat dengan lincah seperti yang dilakukan sang kelinci, bahkan bila sang perempuan telah resmi menjadikannya sebagai binatang kesayangan, sang perempuan tidak perlu repot-repot untuk memberinya makan dengan wortel , cah kakung, brokoli atau segala macam sayuran. Cukup letakkan saja dirinya di pekarangan, maka ia akan melahap semua nyamuk taman yang beterbangan guna menghidupi dirinya, ia juga tak perlu repot-repot dibuatkan kandang seperti sang kelinci, ia akan terjaga sepanjang malam untuk untuk sekadar mengumandangkan lagu-lagu cinta dengan suara sumbangnya. Lagu cinta tentang seekor katak yang jatuh hati dengan seorang anak perempuan manusia.

Senja sudah mulai menorehkan warna kemerahan di cakrawala. Meninggalkan siluet sejumlah burung-burung yang sedang terbang secara berombongan seraya membentuk formasi huruf “v”, sang katak dengan sigap keluar dari kubangan lumpur tempat dimana pikirannya sudah menghabiskan banyak energi untuk menimbang-nimbang dan memikirkan rencana besar ini. Namun bagaimanapun tekadnya sudah bulat, Sore kali ini ia memutuskan untuk menampakkan dirinya kepada sang perempuan di halaman pekarangan. Ia yakin bila ia melompat-lompat dengan lincah sama seperti yang dilakukan sang kelinci saat menjelang kedatangan sang perempuan, maka sang perempuan pastilah akan memeluk dirinya sama seperti sang perempuan memeluk sang kelinci. Bila ia melompat-lompat sembari beringsut mendekat kepada sang perempuan pastilah sang perempuan akan membuka lebar-lebar tangannya, lalu sang katak akan jatuh dalam pelukan sang perempuan, dan ia akan digendong, dibelai, oleh jemari-jemari indah sang perempuan, bahkan sang katak tidak sabar kalau sang perempuan akan memainkan hidung sang katak yang kehijauan dengan jari telunjuk mungilnya sebagaimana sang perempuan kerap menorehkan jari telunjuknya ke hidung kemerahan sang kelinci.

Kedua bola mata sang katak tengah memindai setiap sudut bagian pekarangan dari balik luar pagar pekarangan. Seperti biasa sang kelinci masih melompat-lompat dengan lincah kesana-kemari menjelajahi pekarangan. Disaat sang kelinci tengah berada jauh dari jangkauan tempatnya bersembunyi, dengan sigap sang katak melompat masuk melalui celah pagar besi yang cukup luas untuk dilalui oleh badannya yang kecil. Sang katak melompat dan melesak masuk ke dalam sebuah pot tanaman yang berada tepat di samping pintu berwarna keputihan itu. Cukup lama ia bersembunyi di dalam pot demi menunggu sang perempuan keluar dari balik pintu keputihan itu.

Tak sampai setengah jam, pintu berwarna keputihan itu pada akhirnya terbuka, menimbulkan derit suara yang menusuk telinga sang katak. Dengan cekatan sang katak memutuskan melompat keluar dari dalam pot dan melakukan lompatan-lompatan yang nyaris sama seperti yang dilakukan oleh sang kelinci saat kedatangan sang perempuan. Namun sial, di saat sang katak tengah melakukan lompatan-lompatan yang cukup tinggi, ternyata yang keluar dari pintu keputihan itu bukan sang perempuan yang selama ini ia kenal. Perempuan kali ini terlihat jauh lebih tua, gemuk, dan berperawakan seperti nenek sihir. Sang perempuan tua itu pun setelah melihat ada katak sedang meloncat-loncat dihadapannya, sontak segera memekik ketakutan bak orang kesurupan. sang perempuan tua dengan seketika masuk kembali seraya menutup pintu berwarna keputihan tersebut dengan cepat-cepat hingga menimbulkan suara debam yang cukup keras. sementara sang katak segera menghentikan lompatannya. Ia cukup kaget mendengar suara perempuan tua itu. Ya, suara itu. Suara itu seperti suara yang selama ini ia dengar dari arah dalam pintu. Suara yang selalu memanggil nama sang perempuan dengan amat keras.

Sang katak masih menemukan sedikit harapan saat pintu keputihan tersebut kembali terbuka untuk kali keduanya, namun lagi-lagi perempuan tua, gemuk, dan berperawakan seperti nenek sihir itu yang menampakkan diri! hanya Kali ini kondisinya jauh lebih buruk dari sebelumnya, kali ini ia tengah membawa Sapu! Ya, sapu yang cukup panjang dengan ijuk yang cukup lebar pada ujungnya! Sang perempuan tua tersebut mengayunkan sapunya tepat ke arah sang katak berada dengan teramat keras―seperti ada niat untuk melumatkan sang katak seketika. Beruntung dengan insting yang cepat dan gerakan cukup tangkas sang katak berhasil luput dari serangan sapu tersebut dan segera melakukan lompatan yang cepat untuk keluar dari pekarangan. Sang katak pada akhirnya memutuskan untuk kembali ke kubangan lumpur. walau kali ini ia kembali dengan membawa hati yang tengah bermuram durja.

Keesokan senja, sang katak memutuskan untuk tidak menyerah akibat kejadian yang hampir membuatnya tewas di ujung sapu sang perempuan tua berparas nenek sihir itu. Kali ini ia meyakinkan dirinya kalau ia tidak akan mengulangi kesalahan untuk kedua kalinya. Yah, tidak untuk kedua kali, sebab hanya keledai yang terperosok dua kali kedalam lubang yang sama. Kali ini ia tidak akan keluar dari pot sebelum memastikan bahwa yang keluar dari pintu keputihan adalah sang perempuan yang amat dikaguminya itu, bukan seorang perempuan tua-gemuk berperawakan nenek sihir yang siap melumatnya dengan ujung sapu!

Untuk kedua kalinya sang katak merencanakan masuk ke halaman pekarangan, dan bersembunyi di pot yang berada tepat di samping pintu berwarna keputihan tersebut. Seperti hari kemarin, kali ini ia tidak mengalami kesulitan sama sekali untuk masuk ke halaman pekarangan melalui salah satu celah pagar. melompat melesak masuk ke dalam pot tanpa diketahui oleh sang kelinci yang sepertinya sedang asyik mengunyah wortel di dalam kandang. Di dalam pot yang rimbun dan sedikit lembab ia berusaha untuk menahan jantungnya yang hampir mencuat keluar. Entah karena rasa gugup atau rasa takut.

Selang tiga puluh menit kemudian, pintu berwarna keputihan itu terbuka dan menampakkan sang perempuan yang selama ini ia kagumi tengah menghela kaki beringsut mendekati sang kelinci. Sang katak tidak serta merta langsung melompat menghampiri sang perempuan, ia dengan kedua bola mata bulatnya dengan teliti memindai seluruh sudut ruang pekarangan―guna mencari tahu apakah perempuan tua berperawakan nenek sihir itu sedang berada di sekitar atau tidak.

Setelah dirasanya aman. Ia segera melompat dari dalam pot dan mendekati sang perempuan yang kini tengah duduk di tengah-tengah pekarangan bersama sang kelinci. Sang katak terus melompat dengan tinggi. Kedua bola matanya bersitatap dengan kedua bola mata sang perempuan yang teramat indah itu. Dan ah, itu dia senyum yang merekah itu mengembang dengan sempurna di wajah sang perempuan, mungkin sebagai pertanda kalau sang perempuan juga menyukai sang katak. Sang katak terus melompat dan melompat ke arah sang perempuan yang kini sudah mulai membuka kedua tangannya lebar-lebar. Sang katak melompat dan terus melompat. Jarak antara mereka sudah sedemikian dekat. Kedua tangan ramping milik sang perempuan sudah terasa semakin nyata di kedua bola mata sang katak yang bulat, kali ini bahkan sang katak dapat mencium aroma sang perempuan yang begitu wangi tiada tara. Satu lompatan lagi maka ia akan mendarat di pelukan sang perempuan.

Pada akhirnya sang Katak mendarat di pelukan sang perempuan dengan sempurna. Ia begitu amat senang, ia tidak percaya kalau impiannya selama ini untuk dekat dengan sang perempuan bisa terwujudkan juga.

Sang perempuan memegang sang katak, namun sang perempuan tidak memberikan sebuah pelukan, sebuah belaian, bahkan sang perempuan tidak juga memainkan hidung kehijauan sang katak dengan jari telunjuknya, melainkan meletakkan sang katak ke dalam sebuah kotak kardus kecokelatan, lalu pergi meninggalkan sang katak seorang diri di dalamnya. Kardus kecokelatan itu cukup tinggi bagi diri sang katak yang mungil, hingga dirasa tidak mungkin untuk melompat keluar darinya.

Sang katak terpekur dengan heran dan sedikit gelisah. Namun ia masih menaruh pada sedikit harapan kalau sebentar lagi sang perempuan akan kembali dan mengeluarkannya dari dalam kardus kecokelatan ini guna mengajaknya bermain di pekarangan.

Kedua bola matanya menari-nari setelah dilihat sang perempuan kembali, ia yakin dan teramat yakin kalau sang perempuan kini kembali untuk mengeluarkan dirinya dari dalam kardus kecokelatan, dan berniat untuk menggendongnya, membelainya, dan memainkan hidung mungil kehijauannya. Namun apa yang dilihat oleh sang katak begitu lain. Sesuatu yang dilihatnya kini teramat horor dan terasa mencekik lehernya. Sang perempuan yang dikaguminya itu kini terlihat tengah membawa sapu dengan ujung ijuk yang cukup besar. Ya, sebuah sapu yang pernah digunakan oleh sang perempuan tua berperawakan nenek sihir untuk melumat dirinya.


Dimuat di www.kompas.com untuk kolom OASE - Ceritaku edisi Kamis-10 Februari-2011

Sabtu, 10 Juli 2010

Tujuh Kupu-kupu berwarna Ungu


“Kakek, bisa ceritakan aku tentang patah hati?”

“Mengapa?”

“Karena aku belum tau rasanya patah hati. Sementara banyak dari mereka yang mengakui sudah pernah patah hati.”

“Itu karena kamu belum dewasa, mungkin kelak bila sudah dewasa kamu akan memahaminya.”

“Tapi terlalu lama bila aku harus menunggu sampai dewasa, bisa kakek ceritakan sekarang?”

“Baiklah, Kakek akan menceritakan seorang pria yang sedang patah hati.”

“Siapa nama pria itu kek?”


“Audy”

“Lantas siapa yang membuat hatinya patah.”

“Seorang gadis yang amat dicintai tentunya.”

**

Audy kecil selalu terpikat dengan kupu-kupu yang memiliki sayap keunguan. Dimatanya kupu-kupu dengan sayap berwarna ungu memiliki keindahan tersendiri bagi kedua bola matanya yang bulat. Setiap pulang sekolah tak pelak ia selalu menyempatkan diri untuk pergi ke sebuah taman kecil di belakang sekolah. Mencari kupu-kupu bersayap keunguan. Mengamatinya beterbangan mengelilingi bunga-bunga. Dan ketika mereka terbang mengepakkan sayapnya nan keunguan itu lantas audy terperanjat dengan riang seraya berkata Kupu-kupu cantik bawa aku terbang dari sini.

Ketika beranjak dewasa Audy menemukan kupu-kupu itu kembali di sekolahnya. Kupu-kupu itu masih sama dengan seperti yang dulu. Masih cantik. Menawan. Elok. Dan memiliki warna keunguan yang mampu membuat kedua bola matanya mengembang saat dilihat terbang melintas di hadapannya. Kupu-kupu itu kini berwujud sesosok gadis peranakan tionghoa. Namanya Nik-nok. Terdengar aneh mungkin di daun telinga. Tapi percayalah kalau kecantikan gadis itu hampir menyamai kupu-kupu bersayap ungu yang dahulu kerap dijumpainya di taman mungil dekat belakang halaman sekolah.

Bila kupu-kupu yang kerap ia jumpai di taman memiliki keindahan sayap berwarna keunguan layaknya bunga lembayung, maka Nik-nok memiliki keindahan kardigan yang sewarna semburat cahaya senja nan keunguan. Setiap hari Audy mengamati gerak-gerik Nik-nok di sekolah. Di dalam kelas, Audy mengamati wajah Nik-nok dari ujung meja paling belakang sembari senyam-senyum sendiri mirip orang imbisil. di dalam perpustakaan Audy mencoba mengintip wajah Nik-nok dari balik kamus oxford atau buku seri ensiklopedia. Ia sengaja memilih kedua buku itu karena ukurannya yang besar dan lebar yang dirasa cukup untuk menyembunyikan wajah dungunya. Pun di dalam kantin Audy selalu sengaja memesan Mie ayam mang dayat karena ia tahu kalau Nik-nok suka memesan mie ayam buatan mang dayat dan makan bersama kedua teman-temannya. Biasanya setelah memesan ia masih saja sengaja memilih kursi yang letaknya agak jauh dari Nik-nok (Kadang di belakang). sembari menyeruput Mie Ayam, Audy (lagi-lagi) hanya bisa senyam-senyum sendiri menatap punggung Nik-nok yang terbalut kardigan ungu. Jauh di dalam hatinya Ingin rasanya ia berbisik lembut di daun telinga Nik-nok, Kupu-kupu cantik bawa aku terbang dari sini

Tujuh hari lagi menuju valentine. Audy terkesiap. Ia sadar kalau tanggal 14 pada bulan Februari di sekolah akan menjadi hari ungkapan kasih sayang bagi setiap kaum pria kepada wanita yang disukai. Entah apakah wanita itu teman sekelas, lain kelas, adik kelas, atau kakak kelas. yang pasti pengungkapan rasa kasih sayang di hari valentine akan meninggalkan makna yang mendalam bagi romantika hubungan percintaan di kalangan para murid. Ditambah sebuah mitos di kalangan sekolah yang meyakini bahwa setiap Pria yang mengungkapkan perasaannya pada wanita yang disukainya tepat pada hari valentine tiba maka niscaya wanita itu akan menjadi cinta sejatinya kelak. Pak Sitok menjadi buktinya. 12 tahun lalu saat ia menjadi siswa di sekolah ini pernah mengungkapkan isi hatinya dengan cara membaca sajak cinta menye-menye karangannya sendiri saat jam istirahat di kelas dimana wanita itu berada. Wanita itu bernama Dian Ningsih. Dan Kini keduanya telah memiliki dua orang anak lelaki kembar siam yang lucu-lucu, keduanya duduk di bangku TK di sekolah ini jua. Kini keduanya sama-sama mendedikasikan hidupnya untuk mengajar di sekolah ini. Hanya saja Bu Dian Ningsih mengajar Bahasa Indonesia, sementara pak Sitok mengajar Sejarah.

Namun Audy masih setengah hati untuk meyakini kebenaran mitos ini. Karena ia ingat betul nasib sahabatnya bernama Deni. Pria itu, cintanya pernah di tolak tepat di hari valentine oleh gadis berparas manis yang senyumnya serupa untaian kalung permata. Semenjak itu Audy kerap melihat Deni menceracau sendirian di dalam kelas sembari menangis sesegukan. Kadang ia mendapati Deni membaca sajak khalil gibran—yang kesemuanya bertemakan patah hati—dengan lantang di perpustakaan. Di toilet. Bahkan di pelataran parkir motor. Barangkali ia sudah gila. Batin Audy. Tentu Audy tidak ingin berakhir seperti nasib sahabatnya itu.

Di hari valentine, Audy berencana untuk mengungkapkan isi hatinya kepada gadis peranakan tionghoa tersebut. Namun ia tidak akan membeli cokelat atau kartu valentine saat pengungkapan nanti di sekolah. Ia tidak ingin melakukan hal-hal klise seperti para pria kebanyakan lakukan. Maka yang dilakukannya adalah setiap sore menyempatkan diri untuk pergi ke taman mungil yang berada di belakang sekolahnya dahulu saat ia menjejak SD. Disitu ia mencoba menangkap aneka kupu-kupu bersayap keunguan dengan jaring. setiap hari ia mendapati satu kupu-kupu dengan sayap yang tersaput warna ungu. Ia mengumpulkan total sebanyak tujuh buah kupu-kupu yang kesemuanya di awetkan dan di taruh satu persatu dalam satu barisan untuk kemudian di letakkan dalam bingkai kaca.

Hari valentine berkumandang. Audy sudah siap dengan bingkai kaca yang berisikan 7 buah kupu-kupu bersayap keunguan. Saat jam istirahat tiba. Audy menghampiri Nik-nok. Ia memberikan bingkai kaca itu kepadanya. Gadis itu tersenyum kecil. Matanya yang sipit kian menyipit hingga tampak hanya menyerupai sebuah garis.

“Ini, kupersembahkan hanya untuk kamu.”

“Terimakasih, kenapa Kamu memberi aku hadiah aneh seperti ini sih?”

“Karena kamu secantik kupu-kupu ini.”

“Kalau tahu begitu seharusnya aku juga membawa celengan babi kepunyaanku dari rumah.”

“Untuk apa?”

“Ya, untuk kuberikan kepadamu?”

“Kenapa?”

“Karena Kamu selucu celengan babi kepunyaanku.”

Audy tersenyum kecil. Ia senang saat Nik-nok mengatakan bahwa dirinya lucu, walau ia sedikit bingung untuk membedakan apakah dirinya yang selucu babi, atau babi itu sendiri yang selucu dirinya.

“Apakah kamu mau menjadi pacarku?”

“Aku menjadi pacarmu?”

“Maukah kamu?”

“Kurasa kamu Bukan tipeku Audy.”

“Lantas seperti apa tipemu?”

“Mungkin yang tidak pendek dan gemuk seperti dirimu.”

“Loh, bukannya Kamu tadi bilang aku selucu babi?”

“Iya, tapi bukan berarti aku ingin pacaran dengan babi kan?”

Audy terdiam. hatinya jatuh ke lantai. Berdebam. Pecah. berserakan. Belum tuntas ia mengambil kepingan hatinya yang tercecer. Nik-nok mengucapkan sepatah kata.

“Anyway, terimakasih ya atas bingkainya..mungkin akan ku pajang di kamarku.” Ucapnya seraya pergi meninggalkan Audy yang masih saja memungut satu persatu kepingan hatinya yang hancur.

Audy sedih. Ia berlari dengan linglung layaknya babi yang sehabis ditendang. Ia masuk ke dalam kelas guna mengambil tasnya lalu beranjak pulang. Di dalam kelas ia mendapati Deni yang masih menceracau sambil menangis sesegukan. Apakah aku akan menjadi seperti dia? Tanyanya lirih dalam hati.

Audy di dalam kamar. sedang memandangi dirinya dari cermin yang cukup besar untuk memantulkan citra tubuhnya secara keseluruhan. Dalam benaknya ia berkata Tuhan apakah benar aku mirip babi? Audy percaya bahwa segala sesuatu yang diciptakan Tuhan itu baik adanya. Jadi bila benar ia disamakan dengan babi seharusnya tak menjadikan dirinya kecil hati. Toh babi juga makhluk ciptaan Tuhan bukan? pikirnya. Audy tersenyum. Ia beringsut tidur. Di dalam lelapnya ia masih saja memimpikan tujuh buah kupu-kupu bersayap ungu. Namun jumlahnya tidak lagi tujuh melainkan delapan. Satu diantaranya berparas Nik-nok.

“Sudah malam Nila, Kamu tidur saja ya..esok malam Kakek lanjutkan ceritanya.”

“Lantas apa yang terjadi dengan Audy?”

“Lihat sudah jam setengah sepuluh malam, Kamu sebaiknya tidur Nila, besokkan kamu sekolah.”

“Bisakah Audy mendapati cinta Nik-kok?”

“Sudah malam Nila..”

“Aku belum mengantuk..ku mohon ceritakan aku hingga akhir cerita.”

“Baiklah, tapi ingat sehabis cerita ini kamu sudah harus tidur ya?”

“Baik.”

Dan sang kakekpun melanjutkan ceritanya.

***

Audy sadar kalau dirinya kini harus menjaga hatinya agar tidak rompal kemudian pecah. Karena ia sudah bersusah payah merekatkan setiap keping demi keping patahan hatinya selama enam bulan menggunakan power glue. Ia juga sudah mulai melupakan Nik-nok. Walau kadang ia masih sering memimpikan tujuh kupu-kupu bersayap ungu tersebut setiap malamnya. Bukan, bukan tujuh, melainkan delapan. satu diantaranya berparas Nik-nok, pun kadang ia masih sering terlihat mematut dirinya berlama-lama di depan cermin seraya berkata jauh di dalam hati Tuhan, apakah benar aku mirip babi?

Sepuluh tahun berlalu. Sepuluh tahun merupakan waktu yang cukup untuk merubah keadaan bukan? Namun ternyata ada dua hal di dunia ini yang tidak akan pernah berubah selama sepuluh tahun. Pertama, cinta Audy terhadap Nik-nok belum meluntur sama sekali. Kedua, tubuh Audy masih saja gemuk dan pendek tak ubah layaknya seperti babi. Mungkin ini yang dinamakan abadi. Sebuah rasa yang tidak akan pernah hilang dimakan oleh waktu. Namun dalam waktu sepuluh tahun rupayanya nasib telah menjadikan Audy sebagai Top manager sebuah perusahaan milik BUMN ternama. Ia memiliki daya analisa yang tinggi sehingga mampu menaikkan profit seluruh kantor-kantor cabang di pulau jawa, Bali, dan Sumatera mencapai 10% setiap tahunnya . hal ini pula yang menjadikan Anggia bakrie sang sekretaris pribadi menaruh hati terhadap sang bos. Namun keadaan semakin rumit ketika samuel sang supir pribadi Audy turut menaruh hati terhadap Anggia.

Audy meminta samuel untuk mengantar Anggia ke sebuah biro tour and travel yang berada di selatan Jakarta guna mengambil tiket pesanannya ke Tokyo untuk menghadiri seminar yang bertajuk how to succeed suppy chain management proccess in the industry manufacture yang tengah diadakan oleh kantor pusat yang berlokasi di Jepang. Perusahaan meminta Audy untuk mengikuti seminar tersebut guna mempelajarinya untuk kemudian mengimplementasikan di perusahaan tempat ia bekerja.

“Kamu nanti malam ada acara?” Tanya Samuel kepada Anggia di dalam mobil.

“Memang kenapa?”

“Kita jalan yuk.”

“Jalan, Kemana? aku sibuk.”

“Sibuk? Sibuk apalagi? Sibuk ngelayanin bos kamu itu ya?”

“Kayanya kamu gak perlu tahu aku sibuk dengan apa deh. Tugas kamu hanya menyupir tok.”

“Kecil ya barangnya?”

“Hah?”

“Maksud kamu.”

“Tentu kamu sudah pernah main kan sama bos, gimana barangnya? Kecil ya?” tanya samuel seraya terkekeh.”

“Kurang ajar kamu!” Hardik Anggia sembari melempar tas Louis vuitton miliknya ke muka Samuel. Mobil pun oleng ke kanan. Lalu kemudian berdecit hingga berhenti. Anggia memutuskan untuk keluar dari Mobil. Berjalan menuju pedestrian dan memanggil taksi. Ia berlari dengan langkah kecil pertanda jijik dengan tingkah laku sang supir.

“Bilang saja kalau kecil. Punyaku lebih panjang dan lebar!! Kita coba nanti malam ya! Kamu pasti puas!!” Teriak Samuel dari balik jendela Mobil. Anggia memutar balik badannya lantas mengacungkan jari tengah ke arah Samuel. Samuel hanya terkikik geli memerlihatkan giginya yang kekuningan. Sekuning kaus kaki miliknya yang tak kunjung diganti selama lima tahun.

Di dalam taksi. Benak Anggia bertanya-tanya Kecilkah?

Di Tokyo. Di sebuah Hotel bintang lima. Audy membuka Jendela bening besar. berdiri di sebuah balkon kamarnya.tubuhnya telanjang bulat. Dirasakannya angin malam Tokyo yang menampar-nampar kedua pipi tembamnya. Ia melihat ke bawah. Tampak penis mungilnya berayun-ayun di hembuskan angin. Batinnya bertanya Kecilkah?

Di Tokyo. Di dalam Hotel, saat malam merenda, Audy tertidur. masih memimpikan tujuh buah kupu-kupu bersayap ungu. Bukan. Bukan tujuh. Melainkan delapan. satu diantaranya berparas Nik-nok.

Di Jakarta. Anggia sang sekretaris masih saja menunggu kepulangan sang bos dengan hati yang membuncah. Ia tak sabar mengenakan Kardigan ungu yang pernah diberikan oleh Audy di hari Ulang tahunnya yang ke 27.

Di Bekasi. DI rumah kontrakan. Samuel masih memendam hasrat untuk mengajak Anggia sekadar menonton film bersama, atau dinner di sebuah kafe di ujung sudut kota. Sungguh hatinya terpaut dengan Anggia. Ia masih tersenyum setiap kali mengingat Anggia. Dan senyumannya itu selalu memamerkan barisan giginya yang kekuningan. Sekuning kaus kakinya yang tak kunjung di ganti selama 5 tahun.

***

Kakek itu melihat cucu kesayangannya ternyata sudah tertidur dengan lelap. Ia menatap wajah cantik nan mungil itu. Mengecup pelan kedua pipinya. Selamat tidur. Bisiknya lembut.

Kakek itu berjalan ke luar rumah. Hari sudah begitu malam. Jam tangan tua di pergelangan kirinya menunjukkan pukul sebelas malam. Tentu bukan jam yang baik untuk para manula berjalan keluar di tengah malam di antara hembusan angin dingin yang menusuk tulang. Namun hatinya terpanggil untuk menjenguk sebuah taman mungil yang dahulu kerap ia datangi saat masih mewujud bocah. Sebuah taman dimana dirinya begitu antusias untuk menyaksikan pertunjukan kupu-kupu saling-silang beterbangan dan mendarat untuk menghisap sari bunga. Ia menyukai kupu-kupu itu. namun yang paling disukainya adalah kupu-kupu bersayap ungu. Karena kupu-kupu bersayap ungu selalu mengingatkannya akan seseorang yang amat dicintainya. Ah, kemanakah dia? Masihkah dia mengingat kejadian kurang lebih empat puluh lima tahun yang lalu? Saat dirinya memberikan bingkai kaca berisikan ketujuh buah kupu-kupu yang kesemuanya bersayap ungu layaknya semburat cahaya senja yang mulai lindap ditelan malam. Ia tidak tahu. Ia hanya berharap semoga perempuan itu tidak akan pernah melupakannya.

Jauh di suatu tempat. Tampak seorang Nenek yang sedang berdiri. Menatap bingkai kaca. Di dalamnya masih terdapat tujuh buah kupu-kupu bersayap ungu. Ia tersenyum kecil. Pikirannya melambung ke peristiwa empat puluh lima tahun yang lalu.

Terimakasih Untuk Allan Audy Wardhana, Monik "Nik-nok", Samuel Tse, Anggia atas nama dan karakter kalian. GBU


Pernah dimuat di KOMPAS.COM untuk kolom OASE edisi sabtu 3-juli-2010.